DPR RI membatalkan pengesahan Revisi UU Pilkada menjadi undang-undang karena peserta rapat tidak memenuhi kuorum. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan bahwa rapat Paripurna dibuka pada pukul 09.30 WIB dan diskors selama 30 menit tanpa kuorum yang terpenuhi. Oleh karena itu, DPR memutuskan untuk tidak mengesahkan RUU tersebut.
Dasco juga menyatakan bahwa DPR tidak akan menggelar rapat paripurna dalam waktu dekat. Jika dibawa ke rapat paripurna selanjutnya pada Selasa (27/8), hal itu akan bertepatan dengan masa pendaftaran pasangan calon di Pilkada, sehingga pengesahan UU Pilkada tidak dimungkinkan.
Ketua KPU, Mochammad Afifudin, telah mengirimkan draf peraturan KPU nomor 8 tahun 2024 tentang syarat Pilkada kepada Komisi II DPR sebagai tindak lanjut dari putusan MK. Namun, gelombang demonstrasi ‘darurat Indonesia’ semakin meluas di depan gedung DPR dan di banyak daerah.
Meskipun masih ada dua hari kerja sebelum masa pendaftaran paslon Pilkada 2024, peluang untuk menganulir putusan MK sangat kecil. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya, Muhammad Ali Safa’at, mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki celah untuk menganulir putusan MK secara normal.
Ali menyoroti pentingnya KPU menyusun PKPU berdasarkan putusan MK dan mengingatkan bahwa Perppu terkait Pilkada harus memenuhi syarat-syarat yang mendasar. Dia juga menekankan bahwa peluang penerbitan Perppu oleh Presiden Jokowi harus didasari oleh kebutuhan mendesak dan tidak bertentangan dengan putusan MK.
Jika Presiden Jokowi tetap ingin menerbitkan Perppu Pilkada, hal itu dapat menimbulkan konsekuensi yang serius bagi konstitusi. Masyarakat dapat mengajukan judicial review terhadap Perppu tersebut dan MK dapat menolaknya.
Pengamat komunikasi politik, M Jamiluddin Ritonga, mengimbau agar masyarakat tetap mengawal putusan MK terkait Pilkada hingga selesai masa pendaftaran calon kepala daerah. Dia menegaskan bahwa DPR harus membuat pernyataan resmi untuk membatalkan RUU Pilkada atau memastikan pembahasannya dilakukan dalam masa persidangan berikutnya.
Jamiluddin juga memperingatkan bahwa peluang DPR menganulir putusan MK masih terbuka, namun masyarakat harus tetap waspada terhadap kemungkinan tersebut. Dia menilai bahwa alasan pembatalan RUU Pilkada bisa terkait dengan perbedaan pendapat antara pemerintahan Jokowi dan Prabowo.
Prabowo mungkin tidak ingin mengambil risiko dari aksi penolakan RUU Pilkada yang dapat berdampak padanya di masa depan. Oleh karena itu, dia cepat tanggap dalam membatalkan RUU Pilkada untuk menghindari eskalasi aksi massa yang lebih besar.
Dalam konteks ini, Jamiluddin menekankan pentingnya transparansi dan kejelasan dari DPR dalam menangani isu Pilkada. Masyarakat perlu terus mengawal proses ini untuk memastikan bahwa keputusan MK dihormati dan tidak ada upaya untuk mengubahnya secara sepihak.